Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalimantan Timur terus menindak aktivitas pertambangan ilegal (PETI) yang merusak kawasan konservasi. Sejak 2023 hingga 2025, pihak kepolisian telah menangani tujuh laporan polisi terkait tambang ilegal di Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto.
Direktur Reskrimsus Polda Kaltim, Kombes Pol Bambang Yugo Pamungkas, menyatakan dari tujuh laporan tersebut, delapan orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Total lahan yang dijadikan lokasi tambang ilegal diperkirakan mencapai 30 hektare.
“Sejak tim kami dibentuk pada 2023 hingga saat ini, kami telah menangani tujuh laporan polisi dan menetapkan delapan tersangka. Sekitar 30 hektare lahan di Tahura Bukit Soeharto telah dimanfaatkan untuk kegiatan tambang ilegal,” ungkapnya, Senin (10/11/2025).
Bambang menegaskan, seluruh lokasi tambang ilegal berada di dalam kawasan Tahura Bukit Soeharto. Penegakan hukum ini merupakan bentuk komitmen Polda Kaltim untuk menjaga kelestarian lingkungan dan menindak siapa pun yang merusak kawasan konservasi.
“Tahura adalah kawasan konservasi. Tidak boleh ada aktivitas pertambangan di sini, apalagi tanpa izin. Kami akan terus menindak tegas siapa pun yang terlibat,” tegasnya.
Larangan pertambangan di Tahura diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menegaskan bahwa kawasan hutan dengan fungsi konservasi dan lindung tidak boleh dialihfungsikan untuk pertambangan tanpa izin pemerintah pusat.
Polda Kaltim memastikan penegakan hukum terhadap tambang ilegal di Tahura Bukit Soeharto akan terus berlanjut, termasuk menelusuri kemungkinan keterlibatan pihak lain di balik praktik ilegal ini. Langkah ini sejalan dengan arahan Kapolda Kaltim agar jajaran kepolisian memperketat pengawasan terhadap PETI yang berpotensi merusak lingkungan dan mengancam fungsi hutan di Kaltim.











