Dari arah Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, sebuah jalan agregat bernama Jalan C membelah sunyi hutan tanaman industri.
Permukaannya kasar, hanya bertabur batu dan pasir—rumput liar tumbuh di sela-sela, seolah menandakan jalan itu belum sepenuhnya jadi milik manusia. Kabel listrik besar melintang sepanjang jalur, beberapa tiangnya tampak miring, bahkan ada yang tumbang.
Di ujung jalan yang berdebu itu, mata seketika disilaukan oleh pantulan cahaya dari deretan panel surya. Ratusan modul berjejer di lahan bergelombang, sebagian masih dilingkari pohon eukaliptus yang tersisa.
Inilah PLTS IKN, berdiri di atas lahan seluas 86 hektare dengan kapasitas 50 megawatt—ikon ambisi besar menuju transisi energi bersih di ibu kota baru.
Namun, di balik kilau panel-panel itu, tersimpan kisah lain—tentang hutan yang memudar dan ruang hidup warga adat yang kian menyempit.
Di Sepaku Lama, kawasan yang oleh warga disebut Logdam, tinggal Udin (64) di rumah panggung sederhana. Ia adalah warga adat Suku Dayak Balik, penjaga hutan yang tersisa.
Sejak remaja, Udin sudah terbiasa keluar masuk hutan bersama ayahnya, mencari madu, damar, dan rotan—sumber kehidupan yang selama puluhan tahun menopang keluarga mereka.
“Dulu apa pun gampang. Mau madu, damar, tinggal masuk hutan,” ujarnya mengenang.
Rotan ia jual ke pasar di Balikpapan, damar bisa dua karung sehari, sementara madu jadi pengganti gula yang sulit didapat.
“Kalau tak ada gula, ya air tebu diperas. Orang dulu sehat, tak kenal penyakit,” katanya sambil tersenyum tipis.
Perubahan mulai terasa sejak akhir 1970-an. Hutan di sekitar kampung mulai digunduli, kayu-kayu besar diangkut keluar. Pohon ulin, yang dulu menjadi kebanggaan hutan Kalimantan, banyak ditebang untuk bahan bangunan. Kini, sebagian besar kawasan itu sudah berpagar dan dijaga ketat.
“Kalau ketahuan masuk, bisa ditangkap. Padahal itu hutan tempat kami hidup turun-temurun,” keluhnya.
Sekitar 10 kilometer dari Logdam, di Kelurahan Pemaluan, hidup Sani (91)—salah satu sesepuh Suku Balik. Ia masih mengingat jelas masa mudanya.
“Dulu kami jalan kaki dari Balikpapan ke Sepaku, sehari semalam lewat sungai,” kenangnya. Saat itu, hutan masih lebat. Rotan dan damar mudah ditemukan. “Semua serba ada, tak perlu beli.”
Namun, pada akhir 1979, hutan-hutan itu dibuka besar-besaran. Dari tahun ke tahun, jalur warga ke hutan semakin tertutup. Kini, kebun eukaliptus dan proyek baru menutupi hampir seluruh akses.
Bahkan jalan kecil yang dulu biasa dipakai untuk mencari madu, kini telah berganti menjadi hamparan panel surya PLTS IKN.
Proyek PLTS ini dibangun di lahan bekas hutan eukaliptus yang sudah lama tidak aktif. Pembangunannya dilakukan bertahap sejak Maret 2023 oleh PT Nusantara Sembcorp Solar Energi (NSSE)—perusahaan patungan antara PLN Nusantara Renewables (51%) dan Sembcorp Indonesia (49%).
Fase pertama berkapasitas 10 MWAC rampung pada 28 Februari 2024, disusul fase kedua 40 MWAC pada 28 Desember 2024—total hanya 1 tahun 9 bulan dari awal konstruksi hingga beroperasi penuh.
General Manager PJB sekaligus Direktur Operasional PLTS IKN, Syarief Andrian, menyebut proyek ini mampu menghasilkan 92,8 GWh energi bersih per tahun, setara pengurangan 44 ribu ton CO₂ atau penghematan 37 ribu ton batubara setiap tahunnya.
“Angka ini berdasarkan standar internasional. Setiap 1 kWh listrik fosil setara 475 gram CO₂,” jelasnya.
Meski sebagian komponen utama masih impor, proyek ini sudah memenuhi sertifikasi TKDN sesuai Permen ESDM No. 11 Tahun 2024.
Syarief juga menegaskan, lahan yang digunakan merupakan bekas konsesi PT ITCI dengan status Areal Penggunaan Lain (APL), bukan kawasan hutan aktif.
“Pohon eukaliptus di lokasi belum siap panen dan tidak sedang dikelola aktif,” ujarnya.











