Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Kutai Utara dinilai sebagai langkah strategis untuk menjawab ketimpangan pembangunan di wilayah utara Kabupaten Kutai Timur. Pandangan ini disampaikan oleh Himpunan Pelajar Mahasiswa Kutai Timur Pusat (HIPMA KUTIM PUSAT) yang menilai kebijakan pemerataan belum sepenuhnya menyentuh daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan di Sangatta.
Menurut Ketua HIPMA KUTIM PUSAT, Theo Pilus Berada, pembangunan Kutai Timur selama ini masih berpusat di kawasan Sangatta dan sekitarnya. Sementara itu, wilayah-wilayah utara seperti Muara Wahau, Muara Bengkal, Muara Ancalong, Busang, Long Mesangat, Telen, Kongbeng, dan Batu Ampar masih tertinggal jauh baik dari sisi infrastruktur maupun pelayanan dasar.
“Akses jalan yang rusak, jarak antar kecamatan yang sangat jauh, dan keterbatasan layanan publik membuat warga di wilayah utara seperti hidup di daerah yang berbeda. Pembangunan tidak boleh hanya terkonsentrasi di Sangatta, tapi harus dirasakan merata,” ujar Theo saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon WhatsApp, Sabtu (5/10/2025).
Secara geografis, Kutai Timur merupakan kabupaten dengan luas mencapai 35.747,50 kilometer persegi, mencakup sekitar 17 persen dari total wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Dengan 18 kecamatan dan jumlah penduduk mencapai lebih dari 430 ribu jiwa, beban pemerintahan yang terpusat di Sangatta dianggap terlalu berat untuk menjangkau seluruh wilayah. Akses antarkecamatan yang memakan waktu berjam-jam, terutama ke wilayah perbatasan, memperkuat urgensi pembentukan kabupaten baru yang lebih dekat dengan masyarakat.
Theo menjelaskan bahwa gagasan pembentukan Kabupaten Kutai Utara sebenarnya bukan hal baru. Sejak beberapa tahun lalu, rencana itu telah dikaji oleh sejumlah tokoh dan diteruskan ke pemerintah daerah. Namun, hingga kini, usulan tersebut belum mendapat tindak lanjut berarti karena masih terkendala kebijakan moratorium pemekaran wilayah dari pemerintah pusat.
“Kami memahami soal moratorium, tapi kebutuhan warga tidak bisa menunggu kebijakan pusat tanpa ada inisiatif lokal. Pemerintah daerah seharusnya lebih aktif mendorong agar proses administrasi, data, dan kajian teknis segera dipenuhi,” tegasnya.
Dukungan terhadap wacana pemekaran datang pula dari pemerintah daerah. Wakil Bupati Kutai Timur, Mahyunadi, dalam pernyataannya yang dipublikasikan di laman resmi Pro Kutai Timur (26 Juni 2025), menyatakan bahwa Pemkab Kutim mendukung pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Kutai Utara dengan harapan agar masyarakat di kawasan tersebut dapat lebih cepat merasakan kesejahteraan.
“Kami di pemerintah daerah tidak menutup mata. Kutai Timur ini terlalu luas untuk dijangkau secara optimal oleh satu pemerintahan kabupaten. Pemekaran Kutai Utara bisa menjadi solusi agar pembangunan lebih merata dan masyarakat di utara bisa lebih cepat sejahtera,” ujar Mahyunadi, dikutip dari pro.kutaitimurkab.go.id.
Isu pemekaran Kutai Utara sebenarnya sudah lama bergulir. Dokumen administratif dan kajian akademik bahkan telah disiapkan oleh pemerintah kabupaten sejak bertahun-tahun lalu. Sekretaris Daerah Kutai Timur, Rizali Hadi, dalam keterangannya kepada Kaltim Faktual (9/9/2024), menyebut bahwa Pemkab Kutim telah menyiapkan seluruh berkas teknis dan dukungan administratif. Hanya saja, prosesnya masih tertahan oleh kebijakan moratorium pemekaran dari pemerintah pusat.
“Kami mengapresiasi dukungan Pemkab, tapi harus ada komitmen yang lebih kuat untuk mendorong percepatan ke tingkat provinsi dan pusat. Jangan sampai aspirasi warga utara hanya dijadikan bahan politik saat momentum tertentu,” tambahnya.
Hipma- KT menilai, pemekaran Kutai Utara bukan semata urusan administrasi pemerintahan, melainkan wujud nyata pemerataan pembangunan. Dengan adanya kabupaten baru, distribusi anggaran dan pelayanan publik akan lebih efisien, terutama dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, serta jaringan listrik.
“Tujuan kami bukan memecah daerah, tapi memperkuat pelayanan agar warga bisa merasakan kehadiran pemerintah secara adil. Ini tentang keadilan pembangunan, bukan kepentingan politik,” ujar Theo menegaskan.
Lebih jauh, Theo juga menyinggung sejumlah politisi di tingkat provinsi yang baru-baru ini menyoroti ketimpangan pembangunan di wilayah pedalaman Kutim. Menurutnya, pernyataan itu menunjukkan bahwa kesadaran soal pemerataan mulai tumbuh, namun masih perlu dorongan nyata dari kelompok masyarakat dan mahasiswa agar tidak berhenti di perdebatan politik. HIPMA berencana terus mengawal isu ini, agar usulan Kutai Utara bisa menjadi prioritas dalam agenda pembangunan daerah.
Theo menutup pernyataannya dengan pesan tegas, bahwa perjuangan pemekaran Kutai Utara adalah perjuangan untuk menegakkan prinsip keadilan pembangunan.
“Masyarakat di utara tidak meminta istimewa. Kami hanya ingin mendapat pelayanan dan perhatian yang sama seperti warga di Sangatta. Jika pemekaran adalah jalannya, maka sudah saatnya pemerintah mendengar dengan sungguh-sungguh,” pungkasnya.











