radarnusantara.co.idr, SAMARINDA – Kota Samarinda hari ini menjadi Kota yang susah dalam ppengurusan administrasi kependudukan dan pernikahan, Terhambatnya pengurusan administrasi kependudukan serta pernikahan kerap disebabkan oleh maraknya pernikahan siri di Kota Samarinda, dampak itulah yang menjadi sorotan dari berbagai pihak.
Salah satu pihak yang menyoroti persoalan tersebut ialah, Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda, Sri Puji Astuti, dirinya sangat menyayangkan banyaknya perempuan dan anak yang menjalani pernikahan siri.
“Banyak kasus yang kami tangani terkait pernikahan siri, terutama yang berdampak pada perempuan dan anak. Regulasi sebenarnya sudah ada, seperti perda tentang ketahanan keluarga, tetapi implementasi dan pengawasannya masih perlu diperkuat,” kata Puji, Selasa (25/02/2025).
Dirinya juga mengungkapkan bahwa saat ini terdapat sekitar 3.000 kasus isbat nikah yang masih tertunda di Pengadilan Agama Samarinda, sebagian besar pasangan yang mengajukan isbat nikah adalah mereka yang menikah di usia muda dan mengalami kesulitan dalam memperoleh dokumen resmi, seperti akta kelahiran bagi anak-anak mereka.
Lebih lanjut ia menilai bahwa dampak jangka panjang pernikahan siri dapat berpotensi meningkatkan angka kemiskinan akibat status hukum yang tidak jelas, terutama dalam hal hak waris dan tunjangan ekonomi bagi anak-anak yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Selain itu, ia juga menyoroti peran penghulu liar yang semakin marak dalam praktik pernikahan siri, menurutnya, jika pembuatan Peraturan Daerah (Perda) khusus terkait nikah siri sulit diwujudkan, maka langkah alternatif yang dapat dilakukan adalah memperketat pengawasan terhadap praktik itu.
“Jika perda khusus sulit diwujudkan, maka setidaknya harus ada pengawasan yang lebih ketat terhadap pernikahan yang tidak tercatat secara resmi. Jangan sampai perempuan dan anak menjadi korban,” tegas dia.
Puji juga menjelaskan, tanpa pencatatan resmi, perempuan dan anak menjadi pihak yang paling dirugikan, terutama dalam kasus perceraian yang tidak memiliki kejelasan hukum. Akibatnya, banyak anak yang akhirnya terlantar dan menghadapi kesulitan ekonomi. Pihaknya akan mendorong seluruh perangkat daerah, termasuk Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) serta instansi terkait, untuk lebih aktif dalam menangani permasalahan ini.
“Hal ini menjadi tanggung jawab semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, tokoh masyarakat, hingga lembaga keagamaan, harus ikut serta dalam mencari solusi agar pernikahan siri tidak lagi menjadi pemicu masalah sosial di Samarinda,” tandasnya. (adv/fwz/dprdsamarinda)











