ANGGARAN Transfer ke Daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 sedikit melonggar dari Rp650 triliun menjadi Rp693 triliun. Namun bila dibandingkan dengan TKD tahun 2025 (sebesar Rp919 triliun), terjadi penurunan Rp226 triliun. Pemerintah pusat menyebut; “TKD tidak dipotong, melainkan dialihkan untuk memperkuat pelayanan masyarakat”.
Bagi daerah, pemotongan TKD menjadi kabar horor yang dinilai bisa menghambat program pembangunan. Hingga kini, besaran potongan belum jelas. Kepastian baru akan terlihat di Permenkeu. setelah APBN disahkan. Secara kelembagaan, DPD RI telah menyampaikan keberatan atas rencana pemangkasan TKD dalam APBN 2026. DPD RI menilai pemotongan TKD bisa melumpuhkan pelayanan publik dan pembangunan di daerah
Kami menilai pemangkasan ini bukan solusi bijak di tengah tekanan fiskal. Tanpa alokasi TKD yang cukup, kepala daerah berisiko mencari sumber pendapatan alternatif yang justru dapat memicu masalah sosial ekonomi. Kami meminta alokasi TKD minimal dikembalikan ke level 2025, bahkan jika memungkinkan ditingkatkan. Kami ingin keseimbangan antara target pembangunan nasional dan kebutuhan vital daerah harus dijaga.
Dinamika terkini, pemerintah tetap memangkas jumlah TKD. Di tengah kondisi ini, saya memahami dan berempati pada kondisi psikologis Pemprov Kaltim serta Pemkot dan Pemkab se-Kaltim; yang juga sangat mungkin dirasakan seluruh daerah di Indonesia. Ada kekhawatiran program-program yang telah disepakati bakal terhambat. Pusat pun semestinya tidak memangkas DBH di luar skema dan persentase yang diatur UU.
Namun saya ingin mengajak kita semua untuk melihat sisi yang berbeda. Bukan untuk menghibur diri atau melakukan glorifikasi atas pemangkasan TKD ini, melainkan melihat sisi terangnya. Pemerintah pusat berjanji, pemangkasan TKD ini untuk memperkuat pelayanan masyarakat. Di antaranya melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih, juga Sekolah Rakyat (SR).
Ketiga program tersebut merupakan program pro-rakyat. Rakyat Kaltim juga bakal menikmatinya, selama tata kelola program dijaga dengan sebaik-baiknya. Karenanya, menjadi tugas kita bersama untuk mengawal program-program tersebut agar manfaatnya bisa optimal dirasakan oleh masyarakat Kaltim.
Pada sisi lain, di tengah keterbatasan anggaran ini, pemprov semestinya memperjuangkan pembangunan di wilayah Kaltim sesuai dengan kewenangannya. Jangan sampai Pemprov Kaltim justru melakukan pembangunan yang merupakan domain pusat yang didanai APBN.
Jumlah APBD Kaltim terbatas. Karena itu, pembangunan yang didanai APBD Kaltim harus selektif dan tepat sasaran. Saat ini Kaltim masih kekurangan SMA. Jalan penghubung antar kabupaten juga banyak yang rusak. Kedua hal itu merupakan kewenangan Pemprov Kaltim. Pendirian SMA di pedesaan merupakan perwujudan atas amanah Pasal 31 UUD 1945 dan UU 20/2003 (tentang Sisdiknas) berupa penuntasan Wajib Belajar 12 tahun.
Kaltim sebenarnya punya peluang strategis lain, yakni dengan penetapan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai ibu kota politik pada tahun 2028, mengacu Perpres 79/2025. Penetapan ini bermakna kesiapan IKN jika nantinya difungsikan sebagai pusat pemerintahan per 2028; dengan kesiapan fasilitas tiga rumpun kekuasaan yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.











